you

i never knew that i could love someone so deeply, completely, and endlessly untill i fell in love with you

Senin, 04 Januari 2010

makalah

BAB I

PENDAHULUAN


1.Latar Belakang

Sehubungan dengan majunya teknologi, sudah saatnya kita menyesuaikan diri untuk mengikuti perkembangannya. Teknologi juga mempengaruhi perikanan. Dengan sentuhan bidang teknologi kita bisa memperoleh hasil yang maksimal. Dalam makalah ini akan dibahas tentang penerapan satelit yang dapat membantu dalam pencarian ikan. Hal ini dapat membantu nelayan secara langsung maupun tidak langsung. Jika dilihat dari teknologi nelayan kita kalah jauh dengan teknologi yang digunakan oleh nelayan negara lain. Hasil laut yang melimpah akan sia-sia jika tidak dimanfaatkan secara maksimal. Agar mendapatkan hasil yang maksimal tentunya harus didukung teknologi yang maksimal.


2.Tujuan

Makalah ini disusun bertujuan untuk memberi pengetahuan bahwa dengan menggunakan satelit buatan tertentu kita dapat menentukan letak suatu benda. Dalam hal ini tepatnya adalah ikan. Dengan makalah ini diharapkan para nelayan dapat menggunakan teknologi yang lebih maju. Karena dengan ini dapat menigkatkan hasil tangkapan para nelayan.

Selain itu makalah ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Bahasa Indonesia Keilmuan sehubungan dengan latihan penyusunan makalah.


3.Batasan Masalah

Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini berhubungan dengan satelit yang dapat membantu pencarian ikan bagi para nelayan. Satelit yang akan dibahas adalah GPS (General Positioning System) serta alat pendukungnya. Dalam makalah ini para nelayan diberi salah satu solusi untuk mendapatkan tangkapan yang maksimal.


BAB II

PEMBAHASAN




2.1 Pengertian Satelit Buatan

Satelit buatan adalah satelit yang sengaja dibuat oeh manusia untuk keperluan terentu. Manusia membuat satelit dengan bermacam tujuan. Yang sering dijadikan tujuan adalah untuk mata-mata, prakiraan cuaca, riset astronomi, komunikasi, dan yang paling sering adalah untuk saluran televisi. Satelit buatan yang dapat digunakan untuk membantu mencari ikan adalah GPS (General Positioning System) dan Fish Finder.


2.1.1 Pengertian GPS dan Hydro-Acoustic

Global Positioning System (GPS) adalah satu-satunya sistem navigasi satelit yang berfungsi dengan baik. Sistem ini menggunakan 24 satelit yang mengirimkan sinyal gelombang mikro ke Bumi. Sinyal ini diterima oleh alat penerima di permukaan, dan digunakan untuk menentukan posisi, kecepatan, arah, dan waktu.

Sistem ini dikembangkan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat, dengan nama lengkapnya adalah NAVSTAR GPS (kesalahan umum adalah bahwa NAVSTAR adalah sebuah singkatan, ini adalah salah, NAVSTAR adalah nama yang diberikan oleh John Walsh, seorang penentu kebijakan penting dalam program GPS). Kumpulan satelit ini diurus oleh 50th Space Wing Angkatan Udara Amerika Serikat. Biaya perawatan sistem ini sekitar US$750 juta per tahun,termasuk penggantian satelit lama, serta riset dan pengembangan. GPS banyak juga digunakan sebagai alat navigasi seperti kompas. Beberapa jenis kendaraan telah dilengkapi dengan GPS untuk alat bantu nivigasi, dengan menambahkan peta, maka bisa digunakan untuk memandu pengendara, sehingga pengendara bisa mengetahui jalur mana yang sebaiknya dipilih untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Oleh sebab itu GPS dapat membantu kita dalam mencari posisi ikan/gerombolan ikan.

Global Positioning System (GPS) menyediakan informasi posisi dan waktu secara terus menerus di berbagai tempat di bumi. Karena GPS dapat diakses oleh sejumlah user yang tidak terbatas, maka GPS adalah sebuah sistem yang pasif. User hanya dapat menerima sinyal satelit dengan bantuan GPS receiver.

Hydro-Acoustic merupakan suatu teknologi pendeteksian bawah air dengan menggunakan perangkat akustik (acoustic instrument), antara lain; ECHOSOUNDER, FISHFINDER, SONAR dan ADCP (Acoustic Doppler Current Profiler). Teknologi ini menggunakan suara atau bunyi untuk melakukan pendeteksian.

Pada awalnya Acoustic System dikembangkan oleh Inggris pada masa pra-Perang Dunia II (PD II) dengan membuat ASDIC (Anti Sub-marine Detection Investigation Committee) yang terbukti sangat berguna bagi Angkatan Laut Negara-negara Sekutu pada PD II.

Setelah PD II berakhir, penggunaan akustik semakin berkembang luas untuk tujuan damai dan ilmiah, antara lain digunakan untuk; mempelajari proses perambatan suara pada medium air, penelitian sifat-sifat akustik dan benda-benda yang terdapat pada suatu perairan, komunikasi dan penentuan posisi di kolom perairan.

Selanjutnya perkembangan akustik semakin pesat pada awal dekade 70-an karena telah ditemukan Echo Integrator yang dapat menghasilkan nilai absolut untuk pendugaan dan estimasi bawah air.

Metode hydro-acoustic merupakan suatu usaha untuk memperoleh informasi tentang obyek di bawah air dengan cara pemancaran gelombang suara dan mempelajari echo yang dipantulkan. Dalam pendeteksian ikan digunakan sistem hidroakustik yang memancarkan sinyal akustik secara vertikal, biasa disebut echo sounder atau fish finder (Burczynski, 1986).

Sebagaimana diketahui bahwa kecepatan suara di air adalah 1.500 m/detik, sedangkan kecepatan suara di udara hanya 340 m/detik, sehingga teknologi ini sangat efektif untuk deteksi di bawah air.

Beberapa langkah dasar pendeteksian bawah air adalah adanya transmitter yang menghasilkan listrik dengan frekwensi tertentu. Kemudian disalurkan ke transducer yang akan mengubah energi listrik menjadi suara, kemudian suara tersebut dalam berbentuk pulsa suara dipancarkan (biasanya dengan satuan ping).

Suara yang dipancarkan tersebut akan mengenai obyek (target), kemudian suara itu akan dipantulkan kembali oleh obyek (dalam bentuk echo) dan diterima kembali oleh alat transducer. Echo tersebut diubah kembali menjadi energi listrik; lalu diteruskan ke receiver dan oleh mekanisme yang cukup rumit hingga terjadi pemprosesan dengan menggunakan echo signal processor dan echo integrator.

Kelebihan lain adalah tidak perlu bergantung pada data statistik. Serta tidak berbahaya atau merusak objek yang diteliti (friendly), karena pendeteksian dilakukan dari jarak jauh dengan menggunakan suara (underwater sound). Menurut MacLennan and Simmonds (1992) hasil estimasi populasi adalah nilai absolut. Hydro-acoustic dapat digunakan dalam mengukur dan menganalisa hampir semua yang terdapat di kolom dan dasar air, aplikasi teknologi ini untuk berbagai keperluan antara lain adalah; eksplorasi bahan tambang, minyak dan energi dasar laut (seismic survey), deteksi lokasi bangkai kapal (shipwreck location), estimasi biota laut, mengukur laju proses sedimentasi (sedimentation velocity), mengukur arus dalam kolom perairan (internal wave), mengukur kecepatan arus (current speed), mengukur kekeruhan perairan (turbidity) dan kontur dasar laut (bottom contour).

Saat ini, hydro-acoustic memiliki peran yang sangat besar dalam sektor kelautan dan perikanan, salah satunya adalah dalam pendugaan sumberdaya ikan (fish stock assessment). Teknologi hydro-acoustic dengan perangkat echosounder dapat memberikan informasi yang detail mengenai kelimpahan ikan, kepadatan ikan sebaran ikan, posisi kedalaman renang, ukuran dan panjang ikan, orientasi dan kecepatan renang ikan serta variasi migrasi diurnal-noktural ikan. Saat ini instrumen akustik berkembang semakin signifikan, dengan dikembangkannya varian yang lebih maju.


Penggunaan metode ini mempunyai beberapa kelebihan (Arnaya, 1991), diantaranya

1. berkecepatan tinggi,

2. estimasi stok ikan secara langsung dan wilayah yang luas dan dapat memonitor pergerakan ikan,

3. akurasi tinggi,

4. tidak berbahaya dan merusak sumberdaya ikan dan lingkungan, karena frekwensi suara yang digunakan tidak membahayakan bagi si pemakai alat maupun obyek yang disurvei.


Penggunaan teknologi ini sangat membantu dalam pencarian sumberdaya ikan yang baru, sehingga akan mempercepat pengambilan keputusan atau kebijakan, terutama untuk menetapkan daerah penangkapan ikan agar potensi ikan dapat dipertahankan (Riani, 1998).

Negara-negara yang maju pada sektor kelautan-perikanan (Norwegia, Jepang, Amerika Serikat, China dan Peru) bergantung pada teknologi akustik ini. Mereka menggunakan untuk melakukan eksplorasi sumberdaya dengan cepat, sehingga dapat mengeksploitasi dengan optimal, efisien dan ekonomis karena biaya eksplorasi yang murah dan waktu eksplorasi yang cukup singkat.

Selain itu eksploitasi yang dilakukan dapat lebih berwawasan lingkungan, berkesinambungan dan lestari, sebab sudah diketahui dengan jelas berapa potensi sumberdaya yang akan di eksploitasi tersebut, hanya perlu memilih kebijakan apa yang paling tepat untuk pengelolaan yang berkesinambungan dan lestari tersebut.

Hingga sekarang, teknologi hydro-acoustic ini belum banyak digunakan pada sektor kelautan-perikanan Indonesia, khususnya oleh perusahaan-perusahaan perikanan. Sebaiknya perusahaan-perusahaan tersebut mau memanfaatkan teknologi ini untuk kegiatan eksplorasi yang maksimal dan eksploitasi sumberdaya yang optimal (Donwill Panggabean, 2003).


2.2 Penerapan GPS dan Hydro-Acoustic

Peralatan canggih berupa fish finder dan perlengkapan Global Positioning System (GPS) sebenarnya dapat diterapkan pada nelayan-nelayan yang ada di Indonesia karena hal tersebut dapat memudahkan nelayan mengetahui posisi ikan. Alat tersebut dimungkinkan dapat mengurangi beban nelayan akibat kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang saat ini sedang dirasakan. Bantuan alat fishfinder dan GPS yang diberikan ini bisa mengirit BBM. Mereka hanya akan berlayar ke tempat yang terdapat gerombolan ikan di laut sehingga dapat meningkatkan produk ikan laut yang ada. Fishfinder yang digunakan juga dapat memberikan informasi mengenai suhu, arus, kesuburan klorofil dan lainnya. Sedangkan GPS akan memudahkan nelayan mengetahui koordinat keberadaan kapal mereka saat berlayar. Jelas sekali bahwa peranan atau aplikasi fish finder dan GPS dalam pencarian informasi keberadaan ikan sangatlah penting dan bermanfaat bagi nelayan.

Penggunaan peralatan ini dianggap sangat penting karena akan banyak membantu nelayan dalam mencari ikan. Beberapa daerah telah mulai menggunakan peralatan ini. Salah satunya nelayan yang berada di gunung kidul. Di daerah ini para nelayan mulai diberi pembekalan oleh pihak-pihak terkait.

Pembekalan teknologi modern bagi nelayan masih sangat minim. Hanya lima persen dari seluruh nelayan di seluruh DI Yogyakarta yang sudah menggunakan teknologi sistem penentu koordinat lokasi atau GPS. Tanpa pembekalan teknologi modern, jumlah tangkapan ikan nelayan pun cenderung menurun.

Ketua Kelompok Nelayan Pantai Baron Sunardi menambahkan hanya tiga nelayan di Pantai Baron yang sudah menggunakan teknologi GPS. Jumlah tangkapan nelayan yang menggunakan GPS jauh lebih banyak. Satu nelayan pengguna GPS biasanya diikuti lima nelayan lainnya ketika mencari ikan, kata Sunardi, Sabtu (15/8).

Penggunaan GPS, menurut Sunardi, bermanfaat untuk penentuan lokasi tebar jaring dan kelancaran melaut ketika cuaca berkabut. Mayoritas nelayan yang belum menggunakan GPS ini adalah nelayan yang melaut di jalur satu dengan maksimal daya tempuh melaut sejauh empat mil.

Nelayan juga mengeluhkan belum adanya rumpon atau rumah ikan buatan yang dipasang di jalur satu. Penanaman rumpon akan berdampak pada semakin mudahnya mengetahui wilayah perairan yang dihuni ikan melimpah.

Nelayan Pantai Gesing, Supadiyono menambahkan bahwa nelayan di pantai tersebut hanya memiliki satu GPS dari idealnya 30 GPS. Cara penangkapan ikan masih sangat tradisional. Kehadiran teknologi modern seperti GPS bisa memperkecil potensi kecelakaan nelayan ketika me laut, ujar Supadiyono.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi DIY, Ir. Titik Sugiarto mengakui pembekalan teknologi baru bagi nelayan memang masih minim. Pembekalan teknologi ini masih difokuskan pada sosialisasi maupun seminar. Masih kurangnya penguasaan teknologi modern maupun penguasaan alat tangkap diakuinya menjadi kendala utama peningkatan produksi ikan laut.

Sejauh ini, potensi perikanan tangkap di w ilayah selatan Yogyakarta cukup menjanjikan. Hasil tangkapan ikan di jalur satu mencapai 1731 ton per tahun . Pada tahun anggaran 2009, pemerintah menggulirkan bantuan penguatan modal senilai Rp 2,2 miliar. Bantuan tersebut diberikan bagi nelayan tangkap maupun usaha perikanan budidaya.

Di berbagai daerah di Indonesia juga sudah mulai digunakan teknologi ini. Para nelayan mengakui dengan teknologi ini hasil yang didapat lebih banyak jika dibandingkan dengan menggunakan bubu. Meskipun perlu perlakuan khusus dalam merawat peralatan ini tidaklah rugi jika hasil yang didapat sangat memuaskan.


Gambar 1. Hasil Penangkapan Ikan dengan bantuan GPS

Dapat kita lihat pada gambar.1 hasil dari para nelayan yang menggunakan bantuan GPS dalam mencari ikan. Bagi para nelayan GPS benar-benar membantu dalam mendapatkan tangkapan yang banyak.




BAB III

PENUTUP



3.1 Kesimpulan

GPS dan Hydro-Acoustic dapat membantu kita khususnya para nelayan dalam mencari ikan. Karena dengan alat ini kita dapat mengetahui letak gerombolan ikan. Selain itu alat ini juga mempunyai akurasi yang tinggi. Perbedaan waktu yang dihasilkan tidak begitu jauh sehingga kita dapat yakin dengan tingkat akurasinya.


3.2 Saran

Hendaknya teknologi ini segera dikembangkan dan dikenalkan pada para nelayan. Dengan teknologi ini para nelayan dapat meningkatkan hasil tangkapannya. Hendaknya Pemerintah juga mendukung kelancara kegiatan ini karena dengan teknologi ini secara tidak langsung akan meningkatkan kesejahteraan nelayan.







DAFTAR RUJUKAN



http://regional.kompas.com/read/xml/2009/08/17/18115616/pembekalan.teknologi.bagi. nelayan.minim.



http://onlinebuku.com/2009/02/02/aplikasi-fishfinder-%E2%80%9Dhydro-acoustic%E2%80%9D-dan-gps-dalam-teknologi-pencarian-ikan/.



http://www.mongtuh.com Powered by Joomla! Generated: 15 November, 2009.


Minggu, 03 Januari 2010

Mengajak Siswa Memahami Lingkungan

Mengajak Siswa Memahami Lingkungan



Nama & E-mail (Penulis): Mustar, S.Pd
Saya Guru di SMA Negeri 25 Bandung
Topik: Pendidikan Lingkungan Hidup
Tanggal: 24 April 2006


Baru-baru ini dipublikasikan bahwa penurunan muka air tanah di Kota Bandung sudah mencapai 0,42 meter per tahun. Kondisi ini akan memperparah keberadaan sumber air bersih bagi masyarakat Kota Bandung. Di sisi lain kondisi sungai-sungai yang berada di Kota Bandung juga memprihatinkan. Kita lihat saja Sungai Cikapundung yang membelah Kota Bandung dari Utara Dago hingga Sungai Citarum di Selatan Kota Bandung.

Sungai yang melegenda dan menjadi kebanggaan masyarakat Bandung kini tidak lebih dari saluran pembuangan sampah, kotoran manusia dan limbah rumah tangga lainnya. Sampah, kotoran manusia dan limbah rumah tangga tersebut sudah menambah volume sedimentasi di sungai. Hal inilah yang menyebabkan pendangkalan sungai dan tentu saja pencemaran air sungai.

Ironisnya keadaan tersebut ditambah lagi dengan keberadaan hutan yang kian hari semakin berubah fungsi. Fungsi sebagai pengendali hidrologis berubah menjadi lahan pemukiman dan bangunan jalan. Fungsi hidrologis ini merupakan fungsi yang sangat penting karena hutan berperan dalam penyerapan air ke dalam tanah. Di samping menjaga ketersediaan air tanah dalam volume yang cukup juga dapat memperkecil indeks run off. Indeks run off yang besar tentu saja akan menyebabkan air mengalir pada permukaan tanah secara massif dan cenderung tidak terkendali. Inilah yang kemudian menjadi potensi banjir bandang.

Di Kota Bandung, tingginya indeks run off dapat kita saksikan ketika hujan datang maka sebagian jalan di Kota Bandung akan tergenang air yang disebut banjir cileuncang. Keadaan ini akan mempercepat pengrusakan jalan.

Setelah masalah perairan, di Kota Bandung juga mengalami degradasi lingkungan yang disebabkan pencemaran udara. Baru-baru ini pula dipublikasikan penelitian yang menyebutkan pada sebagian siswa SD di Kota Bandung sudah terkontaminasi oleh timbal dalam kadar yang memprihatinkan. Sementara timbal yang berasal dari bahan bakar kendaraan bermotor tersebut bisa menyebabkan penurunan daya pikir.

Selain timbal yang kita peroleh dari emisi gas buang kendaraan bermotor juga terdapat senyawa CO (Karbon Monoksida). Terhadap ikatan dengan darah CO akan lebih mudah berikatan daripada O2 , sementara yang dibutuhkan oleh tubuh manusia adalah O2. Artinya jika kandungan CO di udara lebih banyak daripada O2 maka lebih besar pula peluang tersingkirnya O2 yang pada gilirannya akan menyebabkan berbagai gangguan pada tubuh manusia.

Semua fakta kerusakan lingkungan Kota Bandung tersebut sebetulnya sudah lebih dari cukup untuk menjadi alasan mengapa kita harus segera sadar dan peduli. Tetapi untuk menjadikan sadar dan peduli tersebut bukanlah perkara mudah di tengah berbagai krisis di masyarakat, terlebih krisis keteladanan.

Namun demikian masih terbuka peluang untuk membentuk kesadaran dan kepedulaian tersebut melalui pendidikan. Melalui pendidikan ini tidak cukup hanya pada tataran kognitif tetapi harus pada tataran aplikasi. Artinya proses pendidikan yang berlangsung tidak sekedar menyampaikan pengetahuan tentang lingkungan hidup tetapi harus sudah sampai pada bagaimana menyikapi lingkungan hidup.

Dalam hal mengajak siswa meyikapi lingkungan hidup tentu saja harus ada political will dari pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan. Di dalam kurikulum sangat mungkin dikembangkan pendidikan lingkungan hidup, baik berdiri sendiri maupun terintegrasi dengan mata pelajaran Geografi, Biologi dan Kimia.

Umumnya tuntutan kompetensi di tingkat SMA adalah evaluasi dan analisa. Oleh karena itu diperlukan kreatifitas guru dalam mengembangkan dan menambah bobot materi agar bisa diimplementasikan oleh siswa. Artinya, guru tidak perlu terpaku semata-mata pada materi yang terdapat dalam buku paket dan LKS. Dari segi metode, kombinasi antara presentasi dan perdebatan antar siswa, menurut pengalaman penulis jauh lebih baik dalam mengeksplorasi kemampuan evaluasi dan analisa siswa.

Selain melalui kurikulum (intrakurikuler) penting juga diwajibkan kepada setiap sekolah di Kota Bandung untuk mengadakan ekstrakurikuler yang bernafaskan lingkungan hidup. Misalnya Kelompok Konservasi Siswa (KKS) yang sekarang sudah terdapat di beberapa sekolah di Kota Bandung, atau Siswa Pemerhati Lingkungan (SPL).

Banyak hal yang lebih aplikatif dapat dilakukan oleh kegiatan ekstrakurikuler ini. Di antaranya adalah kegiatan konservasi lahan binaan, reboisasi, observasi dan penelitian lingkungan hidup, pelatihan penanganan akibat bencana alam, kampanye pemeliharaan lingkungan, pemberdayaan daerah aliran sungai, wisata alam, garakan anti asap kendaraan, bike to school, dan kegiatan lain baik yang berdiri sendiri maupun kerjasama dengan instansi tertentu.